free bootstrap theme


Sudah sejak awal kedatangan kapal dan pelayar Eropa ke Asia, pelaut Nusantara melirik teknologi 'Barat' mana pun yang bisa meningkatkan efisiensi perahu-perahu mereka.  Dengan mengadopsi jenis layar dan tali-temali yang baru maka sering ikut juga penamaannya dalam bahasa asal 'pinjaman' itu: Dengan ini masuk, misalnya, sekian banyak kata asal Bahasa Portuges yang menandai tali-tali dan layar tertentu ke dalam peristilahan kepelautan Nusantara, ya bahkan pada sekian bahasa pelayar lain di seluruh kawasan Samudera India (1, hlm. 26ff).   Sebaliknya, orang Eropa pun berusaha untuk menggunakan teknologi dan tenaga Nusantara dalam pembangunan dan perbaikan kapal mereka – jadi, sudah seusai menaklukan Malaka pada tahun 1511, tentara Portugal membawa serta “60 tukang dari galangan perahu [Malaka], pekerja yang sangat terampil[, …] bersama dengan isteri dan anak mereka guna mengabdi kepada Raja Portugal di Cochin dengan memperbaiki kapal-kapal [Portuges], karena mereka sangat diperlukan di India” (2, hlm. 168f). 


Pada akhir abad ke-17 perpaduan teknologi Barat-Nusantara ini melahirkan tipe kendaraan laut chialoup.  Banyak 'kapal-perahu' jenis ini dibangun di galangan kompeni dagang Belanda VOC di Rembang dan Juwana dengan mengikuti suatu kombinasi teknologi Belanda dan Nusantara: (Sebagian) papannya dieratkan dengan pasak kayu; akan tetapi, setelah beberapa papan dasarnya diletakkan, urat-urat papan berikutnya dibangun dengan mengikuti gading-gading yang didirikan di atas dasar itu tadi.  Kebanyakan pekerja di galangan VOC ini adalah orang Jawa; dan meski luasnya pengaruh teknologi ini atas cara konstruksi perahu indigen kawasan timur Nusantara belum terlacak, sudah hal pasti bahwa sekian banyak aspeknya beralih pula ke galangan-galangan orang pribumi.  Dan: Data kepemilikan dalam arsip VOC menunjukkan bahwa perahu-perahu chialoup ini digunakan oleh baik kompeni Belanda itu sendiri maupun pedagang-pelaut partikelir asal Eropa dan Nusantara. 

Perahu chialoup, ca. 1775; Perpustakaan Nasional, 446/2 (B.W.63)


Layar chialoup meniru tipe sloop (dilafalkan /slu:p/), yaitu suatu kombinasi layar andang-andang yang melintang terhadap lambung dengan layar tipe fore-and-aft yang terpasang secara memanjang; 'perahu-kapal' itu “biasanya bertiang satu, kadang-kadang ditambah sebatang tiang buritan” (3, hlm. 34).  Sementara kebanyakan dari chialoup ini memakai kemudi tengah gaya Eropa, ada pun di antaranya yang dilengkapi dengan dua kemudi samping, suatu ciri khas perahu Nusantara.  Panjangnya antara 15 sampai 25m, dan, tergantung besarnya, berawaknya antara 20 sampai 40 orang; dalam catatan syahbandar Malaka bahkan terdapat chialoup yang membawa sampai 200t muatan dan awak sebanyak 75 orang.

Iklan pemesanan sebuah chaloup sebagai sekoci penjaga di Selat Sunda; Javasche Courant 1836-12-31.


Pada tahun 1820-an tipe perahu chialoup menghilang dari ‘Daftar Kapal dan Kendaraan Laut yang Berasal dari Hindia-Belanda’ yang secara berkala diterbitkan pemerintahan kolonial Hindia Belanda, dan sebutannya dalam koran-koran makin jarang menandai perahu dagang, tetapi berjenis-jenis sekoci 'Barat'.  Bila tipe layarnya diambil sebagai pentunjuk maka mestinya kendaraan laut jenis kotter menjadi penggantinya – akan tetapi, dalam sumber-sumber yang tersedia kita temui berbagai jenis perahu lain yang baru.