Sebutan tertulis tertua yang dengan jelas menunjukkan adanya pembuatan perahu di ujung tenggara Sulawesi Selatan berasal dari Notitie, ‘Berbagai Catatan’, karangan Cornelis Speelman, pemimpin armada Kompeni India Timur Belanda yang pada tahun 1666-69 menyerang dan menaklukkan Kesultanan Makassar.  Dalam ratusan halaman notulen tulisan tangan tentang kegiatan Speelman selama perang itu terdapat juga beberapa laporan tentang keadaan Sulawesi pada masanya.  Menurut Speelman,

free bootstrap themes
'Biera, een propere negerij op den hoeck van Lassem. Daeraan heeft de Compagnie oock eygendom, maer is door de Bougijs gebrand. […] Het volck van dese negerij sijn almeest praauwemaeckers, alsoo alhier wel de voorneemste timmerwerff van de Maccassaren is geweest, om de houtrijckheyt van Boelecomba daar naest aan leggende, uytleverende seer durabel ijsserhout, van ongelooffelijcke swaarte, en voorts ander slagh meede.'
"Bira [adalah] sebuah negeri sendiri di Tanjung Lassem. Kompeni juga memilikinya, tapi dibakar oleh orang Bugis. […] Kebanyakan rakyat negeri itu [adalah] pembuat perahu, sehingga di situ pun terdapat galangan terpenting orang Makassar, sebab [negeri itu] berdekatan dengan Bulukumba yang kaya akan kayu, menyediakan kayu besi yang sangat bertahan, dengan beratnya yang tak dapat dipercaya, dan berbagai [jenis kayu?] lain."
Matthes, Benjamin F. 1869. Over de Wadjorezen met hun Handels- en Scheepswetboek, Makassar: Hartrop.

Dari pertengahan kedua abad ke-17 ini berasal juga Kodeks Amanna Gappa, sepucuk naskah tentang pelayaran dan perdagangan yang, menurut cendekiawan Belanda yang pada tahun 1869 menerbitkannya "sampai hari ini masih sangat dihormati oleh semua saudagar-pelaut" Sulawesi Selatan.  Naskah itu membahas berbagai aturan yang harus diikuti pelaut, saudagar dan penumpang selama berlayar, dan mendetilkan cara membagi hasil suatu pelayaran perdagangan.

Di dalamnya juga terdapat penjelasan atas pelbagai trayek yang biasa dilayari para pelaut Sulawesi pada waktu itu: Ternyata mereka terbiasa berdagang ke seluruh pelosok Nusantara.  Tradisi pelayaran ini tergambar juga pada beberapa 'peta laut Bugis' asal abad ke-18 dan ke-19 yang tetap mengikuti keterangan yang diuraikan dalam naskah pelayaran karangan Amanna Gappa itu.

Stavorinus, Johan Splinter 1798: Reize van Zeeland over de Kaap de Goede Hoop, en Batavia, naar Samarang, Macasser, Amboina .... Leiden: A. en J. Honkoop.

Selama diperintahkan oleh Kompeni India Timur Belanda, pembuatan perahu di ujung tenggara Sulawesi Selatan sepertinya tidak dapat banyak perhatian: Berbagai pencaharian dalam arsip (1, 2, 3, 4) dan laporan kompeni (5, 6)  tidak membuahkan hasil yang secara spesifik merujuk kepada pembuatan perahu dan/atau pelayarannya di kawasan itu.  Catatan tertulis berikutnya yang dengan jelas menyebutkan adanya galangan perahu dan pelaut-suadagar itu berasal dari kisah perjalanan seorang laksamana Belanda, J.S. Stavorinus, yang diterbitkan 1798:

"Seluruh kawasan itu […] adalah tanah gersang dan berbatu, den tidak memberikan kepada penduduknya sesuatu pun yang lain daripada buah ubi, sebagai pengganti roti; mereka harus memenuhi keperluan atas padi dan beras dari Bulukumba dan Bima.  Ada pun beberapa hutan yang menyediakan, di samping Bulukumba, kayu yang agak baik untuk pembuatan perahu; dahulu di sini terdapat galangan terpenting orang Makassar.
Orang-orang Bira biasanyalah tentara yang baik, biar di laut atau di darat; yang paling kaya di antara mereka adalah saudagar; yang lain mencari nafkah dengan membuat perahu, dan penenunan kain katun putih yang kasar."

Dalam terjemahan buku Stovorinus itu ke dalam Bahasa Inggris terdapat sebuah catatan kaki yang menyajikan berbagai informasi tambahan yang diambil dari pengamatan seorang nakhoda Inggris di Bengkulu:

Stavorinus, Johan Splinter [Wilcocke, Samuel H., Transl.] 1798. Voyages to the East-Indies, London: G.G. and J. Robinson.

"Mereka membuat perahu-perahu paduakan mereka dengan sangat rapat, dengan menyambung papan-papannya dengan pasak kayu, sebagaimana yang dibuat oleh pembuat tong kayu pada bagian yang menjadi penutup, dan meletakkan kulit kayu asal sejenis pohon tertentu di antaranya, yang mengembang [bila kena air], dan berikutnya memasang gading-gadingnya kepada [papan itu …].  Di Eropa kita membangun [kapal] secara terbalik; kita mendirikan gading-gadingnya dahulu, dan setelahnya memasang papan-papannya kepadanya; yang terbesar tak pernah lebih besar daripada 50 ton [muatan]; mereka cenderung menggunakan model-model dan perlengkapan kuno dalam melengkapi perahu-perahu mereka.  Bagian haluan perahu-perahu paduakan direndahkan atau dipotong dengan cara yang sangat jelek; sebuah sekat didirikan seberapa jarak ke arah buritan, untuk melindunginya terhadap air laut, dan bagian haluan itu sedemikian rendah bahwa ia sering berada di bawah permukaan laut.  [Perahu-perahu itu] memakai tiang tripod dengan layar bersegi yang menjulang tinggi; tiang tripod itu terbuat dari batangan bambu yang kuat; dua batang yang didirikan di sebelah kiri-kanannya, dan satu dari bagian haluan perahu, diikat di ujung atasnya; kedua batang di buritan dilubangi [… dan dipasang kepada kaki tiang] seperti pada sebuah engsel; bagian depannya dipasang ke haluan, seperti tali laberang, pada sebatang kayu, dengan pengunci; dengan membuka pengunci itu tiangnya dapat dibaringkan dalam sesaat."