free amp template
Beberapa perahu padewakang yang berada di pelabuhan Semarang, awal Februari 1822


Padewakang (Bhs. Makassar, Mandar, Konjo) atau padu[w]akang (Bhs. Bugis) ...

… adalah sejenis perahu historis asal Sulawesi Selatan yang, selambat-lambatnya, sejak awal abad ke-18 tercatat dalam baik naskah indigen, karangan penjelajah dan etnografer maupun laporan kompeni-kompeni dagang Eropa dan pemerintahan kolonial.  Menurut rekaman kesyahbandaran masa itu, pada pertengahan kedua abad ke-18 perahu-perahu padewakang melayari seluruh lautan Nusantara dari Malaka sampai ke Maluku (1, 2) serta menguasai perdagangan laut ke dan dari Makassar (3, 4) – dan, meski biasanya dipautkan dengan saudagar-pelaut asal Sulawesi Selatan, tipe perahu itu digunakan oleh berbagai etnis, termasuk pedagang partikelir Belanda pun.

Sebuah perahu padewakang di pelabuhan Makassar, ca. 1890

Asal-usul kata padewakang tidak terlalu jelas: Ada yang menyangka bahwa kata itu berasal dari nama pulau Dewakang, pulau pertama di laut lepas bila berlayar dari Makassar ke Java, demi menandai bahwa padewakang adalah sejenis perahu yang bisa menempuh jarak jauh (5, hlm. 49); ada pun yang menunjukkan kemungkinan adanya kata dasar /waka/, salah satu kata tertua akan ‘perahu’ dalam bahasa-bahasa Austronesia (6, hlm. 377).  
Dari mana pun juga asal kata 'padewakang' itu, sekurang-kurangnya sejak akhir abad ke-18 pembuatan perahu tipe itu dikaitkan dengan daerah Bira dan "orang Limo-Limo", julukan atas para pengrajin perahu Sulawesi masa itu.

Perahu patorani, 1970-an; Hawkins, Clifford W. 1982: Praus of Indonesia, London: Nautical Books, Macmillan.
Perahu dengan layar tanja; detil dari selembar peta pandangan Somba Opu, Vingbooms, ca. 1660.







Borobudur, Galeri 1.53; Horst Liebner

Berdasarkan berbagai sumber perahu-perahu padewakang masa itu bertiang satu sampai tiga dengan layar bersegi-empat memanjang yang dalam Bahasa Makassar dan Konjo dinamakan sombala’ tanja’.  Berbeda dengan kapal Eropa, Cina, Arab atau India yang menggunakan kemudi tunggal yang dipasang pada ujung buritannya, tipe perahu itu diarahkan dengan dua daun kemudi yang digantung pada samping kiri-kanan bagian belakang.  Perahu-perahu yang memakai jenis layar tanja dan kemudi samping ini sampai sekitar setengah abad silam tetap terdapat di seluruh kawasan Nusantara – dan bahkan sudah tergambar pada beberapa relief Candi Borobudur: Kombinasi layar segi empat memanjang dan kemudi samping memang dari terdahulu menjadi ciri khas perahu-perahu indigen Nusantara.  Jadi, sepucuk tulisan tentang tipe-tipe perahu Nusantara asal pertengahan abad ke-19 mengutarakan bahwa "tipe perahu [padewakang] mungkinlah mengalami paling sedikit perubahan, karena dalam deskripsi-deskripsi pertama penulis dahulu dan pada ilustrasi dalam laporan perjalanan mereka [bentuknya] digambarkan sepenuhynya serupa dengan yang dapat ditemui pada masa kini."

Wereldmuseum Rotterdam, WM-29568; Horridge, A. 1979: The Konjo Boatbuilders and the Bugis Perahu of South Sulawesi; Greenwich, National Maritime Museum; hlm. 26

Keterangan akan ukuran perahu padewakang yang dilaporkan dalam berbagai sumber-sumber yang tersedia cukup berbeda: Seorang pengamat pada akhir abad ke-18 menyebutkan bahwa "yang terbesar tak pernah lebih besar daripada 50 ton [muatan]"; pada pertengahan abad ke-19 disebutkan bahwa perahu-perahu itu dapat "muat antara 30 sampai 180 ton", dengan sekitar 30 orang awak pada "yang terbesar".  Bagaimana pun, muatan rata-ratanya yang terdapat dalam catatan para syahbandar asal abad ke-18 tak melebihi 20 ton – artinya, kebanyakan perahu padewakang masa itu lebih kecil daripada perkiraan-perkiraan di atas.

Perahu padewakang awal abad ke-20; koleksi Wereldculturen TM-10010501.

Tulisan pertengahan abad ke-19 yang sudah dikutip di atas menyebutkan ukuran padewakang masa itu: "Perahu paling besar tipe ini panjang 50 sampai 60 kaki [15-18m], lebar 13 [kaki; 4m] dan tinggi 8 [kaki; 2.5m].  Yang kecil panjang 25 sampai 30 kaki [8-9.5m], lebar 8 [kaki; 2.5m] dan tinggi 6 [kaki; 1.8m]."  Bila dijadikan daya muat, ukuran ini menandai perahu-perahu yang dapat membawa antara 5 sampai sekitar 50 ton. Berdasarkan beberapa maket dalam koleksi pemerintahan Belanda, tulisan itu memaparkan berbagai variasi dalam konstruksi padewakang - tetapi juga menggarisbawahi kesamaan-kesamaannya yang menandainya sebagai setipe perahu tersendiri.

Maket, ilustrasi dan deskripsi ini menggambarkan beberapa sifat dasar padewakang: Di bagian haluan lambungnya terdapat sebidang geladak haluan pendek dan rendah yang terpisah dari geladak perahu lainnya; tiang-tiang perahu dipasang pada balok penopang di atas geladak sehingga dapat dibaringkan; dalam bagian buritan terdapat sebuah kamar dengan dua ‘pintu’ yang beri akses ke kedua kemudi sampingnya; kamar buritan itu ditutup dengan sebidang geladak yang meninggi dan memanjang melewati belakang lambung.  Dan: Bagi para panrita lopi, lambung padewakang mestinya dibangun dengan mengikuti pola susunan papan tatta tallu.  Ciri-ciri itulah dijadikan dasar untuk tiga replika perahu padewakang yang dibangun di Tana Beru untuk dipamerkan di Darwin, Australia, Liege di Belgia, serta dilayarkan ke Yirrkala, Australia Utara.

Dua 'Perahu Dagang Makassar', ca. 1830; perahu di sebelah kiri menggunakan tipe layar 'standing gaff' Eropa, yang di belakang kanan layar tanja.


Pada abad ke-19 layar perahu padewakang itu berubah: Para pelayarnya mulai memadukan layar tanja mereka dengan berbagai tipe layar Eropa.  Proses ini bermula di kawasan barat Nusantara, dan sampai awal abad ke-20 melahirkan perahu tipe palari Sulawesi yang menjadi penggantinya.