free responsive website templates

Dalam rangka peringatan 250 tahun pelayaran kapal penjelajah Inggris HMS Endeavour menelusuri pantai timur Australia, Abu Hanifa Institute, suatu organisasi Islam asal Sydney, pada bulan Mei 2019 memesan sebuah perahu padewakang di Tana Beru.  Perahu itu dijadikan salah satu pemeran dalam sepucuk film tentang para pencari tripang asal Makassar yang sampai awal abad ke-20 setiap tahun berlayar ke Marege, istilah Makassar atas pantai utara Australia, dan hubungan mereka dengan penduduk setempat, orang Aborijini Suku Yolngu.
Pembangunan perahu itu dimulai bulan Juni, dan pada tanggal 9 November ia diluncurkan.  Seusai disiapkan untuk berlayar, perahu yang diberikan nama Nur Al-Marege itu awal Desember berangkat dari Makassar, dan pada tanggal 28 Januari 2020 tiba di Darwin, ibu kota Teretori Utara Australia.  Dari Darwin, pelayaran diteruskan sampai Yirrkala, di mana Nur Al-Marege dan awakanya diterima oleh klan-klan orang Yolngu setempat dengan suatu upacara adat. 

Agar dapat menghidupkan kembali zaman 250 tahun silam, Nur Al-Marege dirancang berdasarkan informasi paling kuna yang masih bisa ditemukan.  Deskripsi-deskripsi padewakang tertua yang kami dapatkan (1, 2) hanya menggambarkan ciri-ciri umumnya; bagaimana pun, beberapa maket dan gambar awal abad ke-19 yang tersimpan di sejumlah musium di Belanda menunjukkan berbagai hal yang berbeda dari kedua replika padewakang sebelumnya yang dicontohkan pada perahu asal pertengahan kedua abad itu.  Ternyata, (sebagian dari) ciri-ciri ini juga disebut dalam sepucuk tulisan yang diterbitkan pada tahun 1854 – maka, sekian banyak butir disain Nur Al-Marege didasarkan atas sumber-sumber itu. 

Musium Etnografi Leiden # RV-351-27

Salah satu ciri yang membedakan padewakang awal abad ke-19 dari yang lebih baru adalah bentuk buritannya: Sementara pada perahu yang lebih baru papan panjang pada urat-urat teratas lambung diteruskan sampai ke buritan, pada sekian banyak maket tua terdapat sebuah bilik berbentuk bak kotak yang 'dimasukkan' di antara ujung belakang papan-papan lambung paling atas dan linggi buritan.  Tulisan asal tahun 1854 menggambarkan bahwa kamar buritan itu "dari arah belakang ditutupi dengan sebidang dinding bersegi empat yang dihiasi dengan ukiran dan dilukisi berwarna-warni [... sehingga] keseluruhan bagian buritan perahu itu agak menyerupai bendi petani yang digunakan di Belanda".  Pada beberapa maket tua penutup belakang itu dilengkapi dengan sejumlah jendela – jadi, teladan yang mungkin lebih tepat bukan bendi petani, tetapi bagian buritan kapal-kapal layar Eropa asal abad ke-17 dan ke-18 yang kebanyakan juga diukir dan diwarnai dengan pelbagai motif.   

Musium Etnografi Leiden, # RV-351-2

Pada hampir semua maket itu, "sepanjang sisi kiri-kanan geladak di atas kamar terdapat dua lembar papan berbentuk sayap yang berfungsi sebagai penghias maupun reling. [...] Antara kamar itu dan palka muatan terbentang sebidang geladak tetap, beberapa kaki di bawah geladak di atas kamar.  Pada sisi kiri-kanannya [geladak itu pun] terdapat papan berbentuk sayap yang serupa dengan yang sudah digambarkan tadi."
Papan yang kedua ini menjadi juga 'penutup' balok pemegang atas kemudi yang –berbeda dengan perahu yang lebih baru di mana balok itu terdapat agak berdekatan dengan pasangan bawahnya– dipasang setinggi geladak tengah itu.  Gincir kemudi pun digerakkan dari dalam kamar itu, bukan dari atas geladak buritan sebagaimana biasa pada jenis perahu yang lebih baru.

Di depan geladak tengah tadi terdapat dek utama perahu.  Pada beberapa maket tua geladak itu datar dan ditutupi dengan papan, dengan sebuah palka yang memberi akses ke ruang muatan; bagaimana pun, pada sekian banyak maket dan foto lainnya bagian tengah lambung itu ditutupi dengan sebidang atap dari daun nipah dan/atau anyaman bambu. Geladak di bawah atap berbentuk tenda yang dinamakan kurung dalam Bahasa Konjo itu terbuka sehingga terbentuklah suatu ruangan yang cukup luas.  Pada sekian banyak maket pada sisi kiri-kanan kurung itu terdapat semacam lorong yang memungkinkan para awak perahu dapat berjalan dari bagian haluan ke bagian buritan tanpa menginjak atap itu.  Konfigurasi inilah dianjurkan oleh Alm. H. Jafar, panrita lopi yang memimpin pembangunan Nur Al-Marege – dan karena direncanakan membawa kru dan penumpang sebanyak 12 orang maka ruang di bawah kurung itu dijadikan kamar tidur buat para awak perahu.

Musium Etnografi Leiden, # RV-351-27

Sepanjang sisi kiri-kanan geladak utama hampir semua maket tertua terdapat balok-balok kayu bersiku yang menonjol ke luar dari sisi lambung perahu.  Konstruksi ini diterapkan juga pada Nur Al-Marege dan digunakan sebagai tempat penyimpanan perlengkapan perahu seperti, misalnya, tenda-tenda dan lembaran kayang, penutup anyaman daun lontar, yang biasa dipasang bila perahu berlabuh, batangan bambu yang digunakan sebagai penopangnya atau kedua sampan yang dibawa ikut.

Wereldmuseum Rotterdam, WM-29506

Berbeda dengan perahu yang lebih baru, pada maket-maket paling tua di belakang geladak rendah haluan yang dinamakan salompong terdapat suatu 'kotak' yang dasarnya lebih rendah daripada geladak utama, tetapi lebih tinggi daripada salompong itu.  Kotak itu "ditutup dengan papan [yang dapat di]lepas [... dan] di bawah papan lepas itu tali jangkar dan perlengkapan lain disimpan" (1).  Di belakang kotak penyimpan tali itu terdapat sebuah balok melintang tebal yang digunakan untuk mengikat tali depan bom layar besar, daman layar depan atau kabel jangkar.  Nur Al-Marege pun dilengkapi dengan tempat penyimpan tali dan balok tebal itu.

Pritchett, R. T. 1899: Pen and Pencil Sketches of Shipping and Craft All Round the World. London, Edward Arnold; hlm.135.

Sebuah perahu dengan kamar buritan bak kotak terukir dan papan berbentuk sayap di sisinya terdapat juga pada suatu sektsa berjudul "Perompak Teluk Persia" dalam sebuah buku terbitan 1899.  Mungkinkah bahwa perahu padewakang bukan hanya berlayar ke Australia, tetapi juga berjelajah sampai Laut Arabia?