Sebagaimana sudah diutarakan pada laman pembuka situs ini, sebutan tertulis pertama (dan, selama hampir 40 tahun berikutnya, satu-satunya!) kata ‘pinisi’ sebagai nama sejenis kendaraan laut yang kami temukan terdapat dalam sepucuk artikel tahun 1917 tentang pelayaran daerah Mandar, bagian selatan dari yang kini dikenali dengan Sulawesi Barat. Bagaimana pun, sebutan yang satu ini belum berarti bahwa saat itu kata dan perahu pinisi itu menjadi buah bibir khalayak ramai: Dalam koran-koran dan catatan administrasi, pada deskripsi foto-foto atau tulisan para etnografer dan penjelajah pertengahan pertama abad ke-20, “sekunar kecil dengan tali-temali berteladan Eropa” itu, secara konsisten, dikenali sebagai palari, ‘[perahu yang bersifat] pelari’. Deskripsi paling mendetil tipe perahu ini terdapat dalam sebuah laporan tahun 1950 tentang perahu-perahu Indonesia yang pada masa itu ditemui di Singapura:
“[Palari] itu dibangun-tambah atas sejenis perahu lain asal Celebes, pajala. Pajala adalah sejenis perahu pelayaran pantai nan lebar dan tanpa geladak yang biasanya dilengkapi dengan sebatang tiang berbentuk tripod serta satu helai layar bersegi-empat besar. Lambungnya lancip pada baik haluan maupun buritan [… .] Lambung palari dibuat dengan meninggikan kedua sisi samping [pajala] setinggi dua atau tiga kaki, dan menambah sebuah serambi [di] buritan dan sebidang geladak. Pada perahu-perahu lama, dan, kelihatannya, masih juga pada cukup banyak dari [perahu] yang dibuat di daerah yang paling termasyhur atas mutu ketukangannya,
papan peninggi di sisi samping itu berhenti pada suatu jarak pendek di belakang ujung haluan, dan sebuah sekat bersegi-empat dibangun pada titik itu. [… Dengan ini,] ujung haluan dan bagian depan perahu menjadi lebih rendah daripada geladaknya.” (hlm. 47-8)
Keterangan yang sama terdapat di, misalnya, tulisan-tulisan ini: 1, 2, 3, 4. Dan, ya, penjelasan cara pembangunan lambung palari ini bisa menerangkan pula bentuk perahu padewakang – maka tak usah heran bila beberapa sumber asal awal abad ke-20 tetap menyebutkan sekunar Sulawesi ini dengan istilah itu: Tertinggal kesan bahwa perahu-perahu yang kini orang suka sebut 'pinisi' itu pada masa awalnya itu memanglah berlambung padewakang nan selaju pelari yang dipasangi layar jenis pinisi.
“Yang mendorong [pelayar Sulawesi] untuk meninggalkan sombala tanja yang digunakan dari dahulu demi layar pinis yang lebih bersifat Eropa itu menurut Haji Daeng Pale adalah kemudahan dalam pemakaiannya […]. Bila anginnya bertambah, orang di atas perahu yang menggunakan layar tanja harus menggulung layarnya yang begitu besar itu ke atas bom bawahnya, suatu pekerjaan yang berat dan berbahaya. Layar pinis dapat dikurangi bagian demi bagian […,] dimulai dengan mentutup layar topser dan layar anjungan. Jika anginnya bertambah lagi, maka agak gampang mengurangi layar besarnya dengan menariknya ke arah tiang, sehingga perahu dengan menggunakan layar yang ditutup setengah itu dan satu atau lebih layar anjungan masih bergerak secukupnya dan daya kemudi tak hilang. Selain ini, terdapat pula perbedaan dalam kemampuan berlayar, yakni bahwa layar pinis itu dapat berlayar lebih dekat ke arah angin. […] Yang paling penting adalah bahwa [perahu] dapat berbalik haluan dengan lebih gampang bila beropal-opal.” (5, hlm. 26)