simple site creator



Ya, bagaimana nasib perahu palari dan teman-temannya pada zaman modern ini? Apa yang terjadi dengan jonggolang dan layar pinisi-nya? Masih adakah yang pada tahun `1970-an dijuluki 'armada perahu layar dagang terbesar dan terakhir dunia'? Simaklah animasi di samping ini!

Perahu jonggolang yang dijadikan PLM, 1988; foto oleh H. Liebner

Memang – agak mustahil perahu layar dapat bersaing dengan kapal bermesin: Menggerakkan banyak layar memerlukan tangan banyak, dan gaji orang banyak itu jauh lebih tinggi daripada bahan bakar sebuah mesin; berlayar betulan artinya menggantungkan diri pada angin, sehingga susah memastikan waktu yang diperlukan untuk menempuh suatu lintasan.  Jadi, di seluruh Nusantara kini sudah amat jarang dapat kita temukan perahu layar – bahkan kapal wisata yang begitu sering dipasarkan sebagai 'pinisi' pun dilengkapi dengan mesin beratusan tenaga kuda, dan layarnya hanya semacam pelengkap yang dibuka untuk berfoto-foto saja.

Berlayar dengan angin jauh berbeda dari memakai kapal bermesin.  Semua gerakan sebuah perahu tergantung dari arah dan kekuatan angin, dan kita bukan hanya harus menghafalkan fungsi lusinan tali-temali yang membuka, menutup atau menyetel layar-layarnya, tetapi juga perlu mengetahui cara bermanuver dengan layar dan angin itu.  Tak usah heran bila duhulu para pelaut harus belajar bertahun-tahun sampai dianggap mahir membawa perahu layar!

Dengan hilangnya perahu-perahu layar Nusantara pada tahun 1980-an hilanglah pula 'lapangan pendidikan' para pelautnya.  Kini, lebih segenerasi setelah perahu pinisi betulan terakhir berlayar menjelajahi Lautan Indonesia maka sudah cukup susah mencari orang yang masih ingat cara menguasai, menata, bahkan memasang dan membuat tujuh sampai delapan layarnya ... alhasil, kita semua terpanggil untuk mendokumentasikan dan, bila masih mungkin, meneruskan tradisi pelayaran yang sejak ribuan tahun menjadi salah satu intisari sejarah dan budaya Nusantara ini.

Anda ingin membantu?  Hubungi Kami!