Dari masyarakat Lemo-Lemo berasal kisah asal-usul pembuatan perahu ini: Pada suatu waktu ratusan tahun silam, ketika belum ada orang banyak di Lemo-Lemo itu, Hamiril Mukmininah, seorang pemuka agama yang bergelar Pangulu Deppa Gigi, berkuasa di kampung itu. Karena tanah sekeliling kampung tak subur maka beliau menyuruh masyarakatnya untuk menaman pohon, “Na’nassa’, Kadiyeng, Kanrung … pokoknya jenis-jenis pohon yang bisa digunakan untuk pembangunan perahu” – memang harapannya bahwa rakyatnya kelak bisa mencari kehidupan yang lebih layak. Karena ditanam di atas tanah yang gersang dan berbatu, pohon-pohon itu memang tumbuh dengan lamban – tetapi kayunya menjadi keras, bak tanah yang ditumbuhinya.
Ketika anaknya yang bernama Opu Daeng Sallatang sudah beranjak dewasa, kayu itu siap untuk ditebang, dan masyarakat Lemo-lemo mulai membangun beberapa buah perahu. Dengan salah satu perahu itu Opu Daeng Sallatang berlayar ke Bima di Pulau Sumbawa. Saat beliau tiba di situ, kebetulan meletuslah Gunung Tambora. Penduduk setempat sangat terancam oleh letusan itu, dan Opu Daeng Sallatang mengajak mereka yang bersedia untuk ikut berlayar pulang ke Sulawesi, di mana mereka diberikan tanah di Lemo-Lemo. Pendatang baru itu juga diajak ikut sebagai pekerja di galangan orang Lemo-Lemo, sehingga usaha pembangunan perahu makin berkembang. Sampai sekarang sekian banyak bidang tanah di kampung itu dikenali dengan nama-nama orang asal Tambora itu – dan ada pun kuburan Hamiril Mukmininah dan anaknya Opu Daeng Sallatang di situ.
Anak-anak mereka, baik orang ‘asli’ Lemo-Lemo maupun para pendatang, Haji Ummara’, Haji Godeng, Kali Haji Massi’, Kali Akko’ Haji Abu Bakar, Haji Doho’ dan Matti Laheng, menjadi leluhur para panrita lopi masa kini.
Merekam silsilah para panrita lopi Lemo-Lemo dan Ara memang salah satu tujuan riset tentang tradisi pembuatan perahu di kawasan Bontobahari ini.